The Secret to Eliminating Self-Doubt

Imposter syndrome adalah pengalaman psikologis yang dialami seseorang di mana mereka merasa tidak pantas atau seolah-olah sebagai penipu, meskipun mereka memiliki prestasi yang nyata. Fenomena ini menarik perhatian karena prevalensinya yang tinggi di kalangan profesional dan pelajar. Hal ini menunjukkan bahwa imposter syndrome bukanlah masalah individu yang terisolasi, melainkan fenomena yang meluas dan mempengaruhi banyak orang di berbagai bidang.
Konsep imposter syndrome pertama kali diperkenalkan oleh Pauline Clance dan Suzanne Imes pada tahun 1978, yang mengidentifikasi bahwa individu-individu sukses sering kali meragukan kemampuan mereka sendiri dan percaya bahwa keberhasilan yang dicapai tidak mencerminkan kemampuan mereka yang sebenarnya. Clance dan Imes membedakan antara beberapa bentuk imposter syndrome ringan, akut, dan kronis. Bentuk ringan menunjukkan sedikit perasaan penipuan yang mungkin menghilang dengan waktu, sedangkan bentuk akut dan kronis dapat menyebabkan dampak psikologis yang lebih parah, seperti kecemasan dan depresi.
Pentingnya memahami imposter syndrome terletak pada dampaknya yang luas. Individu yang mengalami imposter syndrome sering kali merasakan tingkat stres yang tinggi, kelelahan (burnout), penurunan kinerja, serta mengalami hambatan dalam karir maupun akademik. Keberadaan perasaan tidak layak ini tidak hanya mengganggu kesejahteraan mental, tetapi juga dapat menghambat perkembangan profesional. Ini memunculkan argumen bahwa strategi "penyembuhan" lebih efektif dibandingkan menunggu "kepercayaan diri" muncul secara alami. Mengembangkan strategi perbaikan diri dapat membantu individu untuk mengatasi ketidakpastian ini dan meningkatkan keberdayaan mereka dalam menghadapi tantangan.
Dengan menggali lebih dalam mengenai imposter syndrome, serta mengembangkan strategi yang tepat, individu dapat lebih siap menghadapi dan mengatasi tantangan yang ditimbulkan dari perasaan tidak cukup baik, daripada hanya menunggu mindset sempurna yang mungkin tidak pernah terwujud.
- Dokumentasi Pencapaian (“Document Your Wins”)
Salah satu pendekatan yang efektif dalam mengatasi imposter syndrome adalah melalui dokumentasi pencapaian. Teori self-affirmation mendukung gagasan ini, di mana mengakui dan memvalidasi prestasi dapat memperkuat kepercayaan diri seseorang dan melawan narasi negatif yang sering kali dipicu oleh imposter syndrome. Dengan mencatat pencapaian, individu mendapatkan bukti objektif yang berfungsi sebagai counter-narrative terhadap perasaan ketidaklayakan yang sering muncul. Langkah implementasi yang bisa dilakukan adalah memulai “Journal Wins,” di mana individu mencatat minimal tiga hal baik setiap minggu. Setiap entri dalam jurnal ini bisa terdiri dari tanggal, konteks pencapaian, hasil, serta perasaan dan reaksi dari orang lain yang memberi umpan balik terhadap pencapaian tersebut.Contoh praktis dalam konteks akademik adalah seorang mahasiswa yang mencatat pujian dari dosennya atau skor tinggi yang diterima atas presentasi. Dalam konteks profesional, seorang pejabat dapat mencatat hasil positif dari rapat yang sukses atau return on investment (ROI) dari proyek yang baru saja dilaksanakan. Namun, tantangan terbesar dari strategi ini adalah konsistensi; banyak orang kesulitan untuk terus mencatat pencapaian mereka secara teratur. Solusi untuk ini termasuk pengingat rutin serta integrasi aktivitas ini ke dalam ritual harian mereka.
- Pisahkan Perasaan dari Fakta (“Separate Feelings from Facts”)
Strategi kedua yang efektif adalah memisahkan perasaan dari fakta, yang berakar pada teori kognitif dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Dalam konteks ini, penting untuk mengidentifikasi "thought distortions" seperti overgeneralization dan catastrophizing yang sering mengganggu pikiran individu. Langkah praktis yang dapat diambil adalah menuliskan klaim pikiran negatif, seperti “Saya bodoh,” dan kemudian mencari bukti objektif yang mendukung atau membantah klaim tersebut. Individu perlu mencatat hasil capaian, respons positif dari rekan-rekan, dan data evaluasi.Sebagai contoh nyata, mari ambil klaim pikiran “Saya tidak pantas berada di kelas ini,” yang mungkin bertentangan dengan realitas seperti mendapatkan nilai A atau rekomendasi positif dari dosen. Untuk lebih terstruktur, individu bisa menggunakan formulir sederhana, di mana mereka mencatat pikiran negatif, bukti yang mendukung, bukti yang menentang, dan akhirnya kesimpulan objektif. Penting untuk mengantisipasi kesalahan dalam menganalisis bukti; misalnya, jika seseorang merasa “saya berhasil karena kebetulan,” individu harus melawan pola self-sabotage ini dengan mengingat pencapaian yang sebenarnya berasal dari kemampuan dan usaha.
- Ubah “Sempurna” menjadi “Kemajuan” (“Reframe Perfect into Progress”)
Mindset pertumbuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Carol Dweck, bisa digunakan sebagai strategi ketiga untuk mengatasi imposter syndrome. Mengubah cara berpikir dari "sempurna" menjadi "kemajuan" membantu individu untuk lebih menghargai setiap langkah kecil yang mereka ambil. Misalnya, daripada memfokuskan pada hasil yang tidak mencapai 100%, seseorang dapat mengganti evaluasi tersebut dengan pernyataan bahwa “saya belajar 10% lebih baik dari minggu lalu.” Mengimplementasikan jurnal progres harian yang mencatat capaian kecil, seperti menyelesaikan paragraf skripsi atau belajar selama 30 menit, dapat memberikan dorongan motivasi yang signifikan.Penting untuk diingat bahwa ketika akan menetapkan target sempurna, konteks harus dipertimbangkan. Target sempurna mungkin diperlukan dalam situasi tertentu seperti proposal penelitian atau inspeksi kualitas, tetapi untuk keseharian yang lebih rutin, fokuslah pada progres ketimbang kesempurnaan. Dengan demikian, praktik ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan komitmen individu dalam jangka panjang.
- Bagikan Konflik dalam Diri (“Share Your Struggles”)
Salah satu cara untuk mengatasi imposter syndrome adalah dengan berbagi perasaan dan konflik internal kepada orang lain. Ini memiliki beberapa keuntungan psikologis, termasuk normalisasi pengalaman. Kita tidak sendirian dalam merasakan sebagai “penipu”, banyak orang mengalami perasaan serupa. Teori dukungan sosial menunjukkan bahwa berbagi pengalaman dapat mengarah pada validasi dan meningkatkan emosi positif. Keterhubungan dengan orang lain yang juga merasakan hal yang sama dapat memberikan rasa nyaman dan mendorong individu merasa diterima.Format berbagi dapat dilakukan bersama mentor, melalui peer circle, atau dalam grup dukungan. Pendekatan ini tidak hanya berupa pengaduan berkelanjutan, tetapi juga harus mengedepankan permintaan perspektif konkret. Dalam melakukannya, pastikan untuk mengarahkan pembicaraan tidak hanya pada ketidakpuasan, tetapi juga mencari solusi dan nasihat. Namun demikian, berbagi dengan orang yang tidak tepat dapat memperburuk keadaan. Oleh karena itu, penting untuk memilih individu yang terpercaya, membatasi intensitas pembicaraan, dan merumuskan dengan bahasa yang solutif. Dengan demikian, proses berbagi dapat menghasilkan insight dan dukungan yang positif, bukan memperburuk perasaan negatif yang telah ada.
- Klaim Keahlianmu (“Own Your Expertise”)
Mengklaim keahlian berarti mengenali area di mana individu merasa kompeten. Ini mencakup keterampilan, pengalaman unik, serta perspektif lokal maupun global. Melakukan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) bisa membantu individu dalam merumuskan keahlian mereka dengan lebih jelas.Misalnya, seseorang mungkin menyatakan, “Saya memiliki kemampuan bilingual Bahasa Indonesia–Inggris dan latar belakang riset di budaya lokal.” Klaim ini tidak hanya menjelaskan keahlian, tetapi juga membedakan individu tersebut dari yang lain. Setelah mengidentifikasi keahlian, langkah berikutnya adalah memperbarui CV, video pitch, atau profil LinkedIn dengan poin-poin keahlian yang spesifik dan diferensial. Ini penting agar individu tidak terjebak dalam undervaluing (menilai terlalu rendah) diri mereka sendiri. Namun, perlu diingat untuk menghindari klaim yang berlebihan, yang dapat berujung pada overconfidence. Solusi untuk hal ini adalah dengan selalu mengaitkan klaim yang dibuat dengan capaian yang nyata dan terukur.
- Ambil Aksi Tak Sempurna (“Take Imperfect Action”)
Dasar dari strategi ini adalah prinsip belajar dengan melakukan, di mana tindakan kecil dan konsisten dapat memberikan efek yang positif. Pendekatan ini menekankan pada bias untuk bertindak dan bagaimana tindakan-tindakan kecil bisa menjadikan suatu kebiasaan yang lebih besar di masa depan.Sebagai contoh, seseorang dapat memulai dengan tindakan mikro, seperti membaca satu halaman jurnal, mengajukan satu pertanyaan di kelas, atau mengirim satu email reflektif per hari. Tindakan kecil ini penting untuk membangun kepercayaan diri dan memperkuat memori positif: "Saya bisa melakukannya."Dengan bertahap, individu dapat meningkatkan kompleksitas tindakan dari yang mikro ke makro, seperti memulai sebuah blog, mengadakan seminar, hingga publikasi artikel ilmiah. Langkah ini memberi kemampuan untuk mengatasi rasa takut akan kegagalan sekaligus membangun ketahanan mental.Untuk mengatasi rasa takut melakukan tindakan, penting untuk memiliki rencana minimalis yang jelas serta dukungan dari rekan. Misalnya, menyediakan draft kasar untuk pekerjaan yang lebih besar atau mengenalkan ide kepada seorang mentor dapat membantu meredakan ketakutan dan memberi dorongan untuk melangkah maju.
Dalam menghadapi imposter syndrome, penerapan beberapa strategi dapat secara signifikan membantu individu mengatasi perasaan ketidakcukupan dan meningkatkan kepercayaan diri mereka. Strategi berbagi konflik dalam diri, klaim keahlian, serta mengambil tindakan tidak sempurna menawarkan pendekatan yang saling melengkapi dalam membangun dukungan sosial, mengenali dan merayakan keahlian, serta mendorong tindakan konkret meskipun tidak sempurna. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, individu dapat mengurangi dampak negatif imposter syndrome yang dapat menghambat kinerja dan perkembangan karir, sekaligus membangun resilien serta kepercayaan diri dalam perjalanan profesional dan akademik mereka. Integrasi dari pendekatan ini ke dalam praktik sehari-hari diharapkan dapat membantu mencapai perubahan positif yang berkelanjutan.
Referensi :
Baumann, N., Faulk, C., Vanderlan, J., Chen, J. A., & Bhayani, R. K. (2020). Small-Group Discussion Sessions on Imposter Syndrome. Mededportal. https://doi.org/10.15766/mep_2374-8265.11004
Bhama, A. R., Ritz, E. M., Anand, R., Auyang, E. D., Lipman, J., Greenberg, J. A., & Kapadia, M. R. (2021). Imposter Syndrome in Surgical Trainees: Clance Imposter Phenomenon Scale Assessment in General Surgery Residents. Journal of the American College of Surgeons, 233(5), 633–638. https://doi.org/10.1016/j.jamcollsurg.2021.07.681
C, P. P., Konduru, R. K., Manikandan, M., & Purty, A. J. (2024). Imposter Phenomenon Among the Final Year (Part 1 and 2) Medical Students of a Private Medical College in the Union Territory of Puducherry: A Cross Sectional Study. Indian Journal of Community Health, 36(2), 215–221. https://doi.org/10.47203/ijch.2024.v36i02.010
Gadsby, S. (2020). Imposter Syndrome and Self-Deception. https://doi.org/10.31234/osf.io/afs4n
Lin, E., Crijns, T. J., Ring, D., & Jayakumar, P. (2022). Imposter Syndrome Among Surgeons Is Associated With Intolerance of Uncertainty and Lower Confidence in Problem Solving. Clinical Orthopaedics and Related Research, 481(4), 664–671. https://doi.org/10.1097/corr.0000000000002390
Mahajan, N. (2025, January 5). Feeling like a fraud in your own success story? [Online forum post]. Natasha Mahajan. https://www.linkedin.com/posts/natashamahajan_6-ways-to-cure-imposter-syndrome-activity-7281650809707057152-FVzk/?utm_source=combined_share_message&utm_medium=member_desktop_web
Mainali, S. (2020). Being an Imposter: Growing Out of Impostership. Journal of Nepal Medical Association, 58(232). https://doi.org/10.31729/jnma.5505
Murray, Ó. M., Chiu, Y.-L. T., Wong, B., & Horsburgh, J. (2022). Deindividualising Imposter Syndrome: Imposter Work Among Marginalised STEMM Undergraduates in the UK. Sociology, 57(4), 749–766. https://doi.org/10.1177/00380385221117380
Penulis : Ajeng Diah Hartawati M.Psi, Psikolog