Perbedaan Lingkungan Kerja yang Toxic dan Sehat

Selama beberapa tahun terakhir, perhatian terhadap kesehatan mental di tempat kerja telah mengalami lonjakan yang signifikan, terutama setelah dampak dari pandemi COVID-19. Data yang menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja di lingkungan dengan budaya kerja yang toksik mengalami masalah kesehatan mental merupakan isu yang mendesak. Lingkungan kerja yang toksik, seperti yang dijelaskan oleh Rusdiyanto, dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental, termasuk stres, kecemasan, dan depresi, yang sering kali diperburuk oleh praktik pem-bully-an dan tindakan diskriminasi lainnya di lingkungan kerja. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa memahami stres kerja yang berlebihan dan dampaknya terhadap keterlibatan karyawan serta produktivitas adalah langkah penting untuk mencegah kondisi ini. Dengan demikian, sangat jelas bahwa lingkungan kerja yang positif dan mendukung sangat penting dalam menjaga kesejahteraan mental karyawan, terutama dalam konteks pasca-pandemi.

Konteks pasca-pandemi juga memperburuk tekanan kerja, mempengaruhi keseimbangan kerja-kehidupan karyawan. Sebuah studi menunjukkan bahwa karyawan yang merasakan keseimbangan kerja-kehidupan yang lebih baik selama periode teleworking cenderung lebih puas dan berkeinginan untuk melanjutkan teleworking setelah pandemi. Di sisi lain, kembalinya karyawan ke tempat kerja fisik dapat berdampak negatif pada keseimbangan kerja-kehidupan mereka, yang pada gilirannya dapat memperburuk kesehatan mental. Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa stres yang berkelanjutan akibat tuntutan pekerjaan yang tinggi, terutama dalam lingkungan kerja yang toksik, dapat mengakibatkan fenomena burnout yang lebih umum di kalangan karyawan, dengan implikasi yang jauh lebih luas pada keseluruhan produktivitas organisasi. Dengan pendekatan yang kritis terhadap budaya kerja, perusahaan dapat berkontribusi pada perbaikan kesehatan mental dan, pada akhirnya, meningkatkan kinerja karyawan mereka.

  • Ciri-Ciri Budaya Kerja Toxic
    • Kepemimpinan Otoriter atau Tidak Responsif
      Kepemimpinan yang otoriter dan tidak responsif sering kali ditandai dengan kurangnya empati dan keterlibatan emosional dari para pemimpin kepada karyawan. Dalam budaya kerja yang toksik, pemimpin cenderung menggunakan ancaman dan tekanan emosional sebagai alat untuk mengendalikan tim, yang selanjutnya mengakibatkan ketidakpuasan dan stres di kalangan karyawan. Pemimpin yang berorientasi pada kontrol ketat dan tidak mendorong komunikasi dua arah dapat memperparah situasi ini, menciptakan rasa ketidakamanan yang mendalam di kalangan bawahannya. Selain itu, kondisi ini biasanya berpengaruh negatif terhadap inovasi dan kreativitas di tempat kerja, karena karyawan merasa takut untuk berbagi ide atau pendapat yang berbeda.
    • Kurangnya Kepercayaan dan Keamanan Psikologis
      Budaya kerja yang toksik juga sering ditandai dengan kurangnya kepercayaan dan keamanan psikologis. Karyawan merasa takut untuk mengungkapkan opini atau kritik, yang mengakibatkan minimnya umpan balik konstruktif dan penghargaan untuk kontribusi mereka. Ketidakmampuan untuk mendiskusikan masalah secara terbuka membuat suasana kerja menjadi kaku dan tidak produktif, di mana individu-individu merasa mereka tidak dapat berbagi pandangan tanpa menghadapi konsekuensi negatif. Dalam konteks ini, dukungan psikologis dari manajemen sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan mendukung, yang dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan mental dan produktivitas karyawan.
    • Komunikasi yang Tidak Transparan
      Salah satu ciri utama dari budaya kerja yang toksik adalah komunikasi yang tidak transparan. Pada lingkungan ini, informasi penting sering kali disembunyikan atau dimanipulasi, menciptakan iklim ketidakpastian dan ketidakpercayaan di antara karyawan. Praktik gossip dan politik kantor menjadi tambah merugikan, berpotensi menyebabkan sabotase antar tim. Hal ini tidak hanya mengganggu hubungan interpersonal, tetapi juga menghambat kolaborasi dan kepemimpinan yang efektif dalam organisasi. Penyaluran informasi yang jujur dan terbuka harus menjadi prioritas untuk mengatasi masalah komunikasi dan membangun budaya kerja yang lebih sehat dan produktif.
    • Beban Kerja Berlebihan dan Ketidakjelasan Peran
      Budaya kerja yang toksik sering kali ditandai dengan beban kerja yang berlebihan dan ekspektasi yang tidak realistis. Karyawan seringkali diharuskan untuk melakukan multitasking yang berlebihan tanpa dukungan yang memadai, yang dapat menyebabkan stres dan kelelahan. Penelitian menunjukkan bahwa ketika ekspektasi pekerjaan jauh melebihi kapasitas karyawan dan sumber daya yang tersedia, hal ini mendorong terjadinya ketidakpuasan dan peningkatan angka turnover. Kurangnya kejelasan dalam peran pekerjaan juga menyebabkan kebingungan dan frustrasi, mengakibatkan rendahnya produktivitas di tempat kerja.
    • Tidak Ada Pengakuan atau Apresiasi
      Dalam banyak budaya kerja yang toksik, prestasi kerja karyawan sering kali diabaikan atau dianggap remeh. Lingkungan kerja yang hanya fokus pada kesalahan dan kelemahan individu menciptakan suasana yang negatif. Ketidakadaan pengakuan atau apresiasi terhadap usaha dan kontribusi karyawan dapat mengurangi motivasi mereka dan meningkatkan tingkat kelelahan psikologis. Oleh karena itu, perusahaan perlu menerapkan sistem pengakuan yang konstruktif untuk memastikan bahwa karyawan merasa dihargai dan termotivasi untuk memberikan yang terbaik dalam pekerjaan mereka.
    • Minimnya Kesempatan Pengembangan Diri
      Kurangnya kesempatan untuk pengembangan diri juga menjadi ciri khas dalam budaya kerja yang toksik. Karyawan yang tidak diberikan akses terhadap pelatihan atau promosi karier sering kali merasa stagnan dan terjebak dalam rutinitas yang tidak memuaskan. Tanpa adanya peluang untuk belajar dan berkembang, karyawan dapat kehilangan semangat dan merasa bahwa keterampilan serta potensi mereka tidak dimanfaatkan. Penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang berinvestasi dalam pengembangan profesional karyawannya cenderung memiliki tingkat kepuasan karyawan yang lebih tinggi dan kinerja yang lebih baik.
  • Dampak Negatif Budaya Kerja Toxic
    • Dampak Terhadap Kesehatan Mental
      Budaya kerja yang toksik memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental karyawan. Tingkat stres, kecemasan, dan depresi yang tinggi sering terjadi akibat tekanan yang dihasilkan oleh lingkungan kerja yang tidak mendukung. Hal ini berpotensi mengarah pada sindrom burnout, yang ditandai dengan kelelahan emosional dan kehilangan motivasi. Selain itu, karyawan yang terpapar budaya kerja yang negatif seringkali mengalami gangguan tidur dan masalah psikosomatis akibat stres berkepanjangan yang dihadapi di tempat kerja.
    • Dampak Terhadap Kinerja dan Produktivitas
      Dampak negatif dari budaya kerja yang toksik terhadap kinerja dan produktivitas juga sangat nyata. Lingkungan kerja yang tidak kondusif cenderung menyebabkan menurunnya kreativitas dan inovasi, karena karyawan merasa tidak dihargai dan tertekan. Karyawan yang beroperasi dalam suasana yang buruk ini sering kehilangan semangat dan inisiatifnya, yang berdampak pada rendahnya kolaborasi antar departemen. Penelitian menunjukkan bahwa produktivitas dapat terhambat ketika individu merasa terisolasi dan tidak mendapatkan dukungan dari rekan kerja maupun atasan mereka.
    • Dampak Terhadap Organisasi
      Budaya kerja yang toksik tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memengaruhi tingkat keseluruhan organisasi. Salah satu dampaknya adalah tingkat turnover karyawan yang tinggi, di mana karyawan yang tidak puas cenderung meninggalkan perusahaan, meningkatkan biaya rekrutmen dan pelatihan karyawan baru. Selain itu, reputasi organisasi dapat menurun di mata publik serta calon pelamar kerja, yang berdampak pada kesulitan menarik talenta terbaik di pasar. Kerugian finansial juga dapat terjadi akibat rendahnya produktivitas dan biaya tambahan yang muncul karena tingginya angka pergantian karyawan.

Budaya kerja yang toksik memiliki dampak yang sangat merugikan baik bagi karyawan maupun organisasi secara keseluruhan. Tingginya tingkat stres, kecemasan, dan depresi yang dialami karyawan, ditambah dengan fenomena burnout, menggambarkan betapa krusialnya pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan mendukung. Dampak negatif pada kinerja dan produktivitas, seperti menurunnya kreativitas dan inisiatif, serta rendahnya kolaborasi antar departemen, sangat signifikan dan dapat memperburuk situasi organisasi yang sudah dalam kondisi tidak baik. Organisasi yang tidak memperhatikan budaya kerjanya berisiko mengalami tingkat turnover yang tinggi dan menurunnya reputasi di mata publik, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerugian finansial yang besar. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk menyusun dan menerapkan strategi yang fokus pada peningkatan budaya kerja demi kesejahteraan karyawan dan keberhasilan jangka panjang organisasi.

Referensi :
Anthoni, L., & Rahman, F. (2020). Pengaruh Lingkungan Kerja Dan Budaya Kerja Islam Terhadap Kinerja Karyawan PT AJS Amanahjiwa Giri Artha. Keberlanjutan Jurnal Manajemen Dan Jurnal Akuntansi, 5(1), 24. https://doi.org/10.32493/keberlanjutan.v5i1.y2020.p24-37
Ashraf, F., Tariq, S., Farooqi, R., Khan, M. A., Griffiths, M. D., & Asanjarani, F. (2024). Burnout Mediates the Association Between Workplace Bullying and Mental Health Problems of Health Practitioners in Cancer Units. Iranian Journal of Public Health. https://doi.org/10.18502/ijph.v53i1.14692
Cao, F., & Zhang, H. (2020). Workplace Friendship, Psychological Safety and Innovative Behavior in China. Chinese Management Studies, 14(3), 661–676. https://doi.org/10.1108/cms-09-2019-0334
Dalgaard, V. L., Gayed, A., Hansen, A., Grytnes, R., Nielsen, K., Kirkegaard-Larsen, T. J., Uldall, L., Ingerslev, K., Skakon, J., & Jacobsen, C. B. (2023). A Study Protocol Outlining the Development and Evaluation of a Training Program for Frontline Managers on Leading Well-Being and the Psychosocial Work Environment in Danish Hospital Settings – A Cluster Randomized Waitlist Controlled Trial. BMC Public Health, 23(1). https://doi.org/10.1186/s12889-023-15728-2
Emotional Intelligence?:). (2025, January 5). 87% of employees say toxic workplaces hurt their mental health.    Great. . . | Emotional Intelligence?:) | 63 comments [Online forum post]. https://www.linkedin.com/posts/emotional-intelligence-smiles_87-of-employees-say-toxic-workplaces-hurt-activity-7281564898013130752-opf2/?utm_source=combined_share_message&utm_medium=member_desktop_web
Havaei, F., Adhami, N., Tang, X., Boamah, S. A., Kaulius, M., Gubskaya, E., & O’Donnell, K. (2023). Workplace Predictors of Violence Against Nurses Using Machine Learning Techniques: A Cross-Sectional Study Utilizing the National Standard of Psychological Workplace Health and Safety. Healthcare, 11(7), 1008. https://doi.org/10.3390/healthcare11071008
Hendriani, W. (2023). Pengaturan Kerja Fleksibel (FWA) Dan Implikasinya: Tinjauan Literatur Sistematis. Jurnal Psikologi Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan, 10(2), 280–295. https://doi.org/10.35891/jip.v10i2.3721
Hughes, B. C. (2022). Examining Toxic Leadership: An Integrated Framework for Organizational Recovery. Journal of Behavioral and Applied Management, 22(3). https://doi.org/10.21818/001c.55772
Jones, A. M., Fan, J., Thomas-Olson, L., Zhang, W., & McLeod, C. (2023). Continuation of Telework in the Post-Pandemic Era: Healthcare Employees’ Preference and Determinants. Healthcare Management Forum, 36(4), 256–262. https://doi.org/10.1177/08404704231170733
Kurniawan, S., Bamumin, F. A., & Kusnandar, K. N. (2023). The Effect of Toxic Workplace Environment on Employee Performance Mediated by Employee Engagement and Work Stress Among F&B Employees in Jakarta. Business Economic Communication and Social Sciences (Becoss) Journal, 5(2), 127–136. https://doi.org/10.21512/becossjournal.v5i2.9729
Kusumadewi, M. F. (2022). Penerapan Budaya 5r (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin) Dalam Menunjang Kinerja Gudang. Jurnal Bisnis Logistik Dan Supply Chain (Blogchain), 2(2), 58–63. https://doi.org/10.55122/blogchain.v2i2.529

Penulis : Erna Susilowati
Editor : Ajeng Diah Hartawati M.Psi, Psikolog