Penyebab Burnout Bukan Karena Kerja Keras

Burnout merupakan fenomena yang diakui secara internasional, dengan definisi yang diberikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencakup tiga dimensi utama: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian pribadi. Dimensi ini menggambarkan kondisi di mana individu merasa terkuras secara emosional, terpisah dari pekerjaannya, serta merasa kurang kompeten dalam pencapaian pekerjaan mereka. Dalam konteks ini, banyak persepsi keliru yang menganggap burnout sebagai kelemahan individu, padahal penelitian menunjukkan bahwa burnout lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor sistemik dan lingkungan kerja. Sebagai contoh, sebuah studi menunjukkan bahwa 82% dari guru yang terlibat dalam pembelajaran jarak jauh mengalami tingkat burnout yang tinggi, mengindikasikan bahwa situasi kerja yang tidak mendukung dapat meningkatkan risiko burnout. Hal ini menunjukkan bahwa pencarian solusi harus melibatkan pendekatan yang lebih holistik dan sistematis.

Menyikapi anggapan bahwa burnout merupakan bagian dari kelemahan individu, penting untuk menggali lebih dalam faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kondisi tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan emosional dapat diartikan sebagai ketidakmampuan individu untuk menanggapi tuntutan emosional yang terus menerus, sementara depersonalisasi mencerminkan respon negatif terhadap pekerjaan yang dapat menghilangkan idealisme yang dimiliki individu. Penurunan pencapaian pribadi tidak hanya berpengaruh pada kinerja individu, tetapi juga dapat menyebabkan dampak negatif di lingkungan kerja secara keseluruhan. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk membongkar mitos tentang burnout dan menekankan perlunya pendekatan sistemik yang mempertimbangkan aspek dukungan dari organisasi, lingkungan kerja, serta kesejahteraan psikologis karyawan agar dapat mengurangi risiko dan dampak dari burnout.

  • Burnout: Gejala Sistemik, Bukan Masalah Personal
    Miskonsepsi terhadap burnout sering kali menjadi penghalang untuk memahami masalah ini dengan baik. Banyak yang berpegang pada mitos bahwa burnout adalah tanda kelemahan atau ketidakmampuan individu, padahal kenyataannya, burnout sering dialami oleh pekerja yang sangat berkomitmen dan berdedikasi. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang paling bersemangat dan terlibat justru lebih rentan terhadap kejadian burnout karena mereka menginvestasikan waktu, tenaga, dan emosi dalam pekerjaan mereka, sehingga saat kondisi kerja tidak mendukung, mereka merasakan dampak yang lebih dalam. Maslach, seorang ahli terkemuka dalam studi burnout, menggarisbawahi bahwa "Burnout is not a problem of the people. It's a problem of the workplace," yang menegaskan bahwa tekanan dan ekspektasi di lingkungan kerja berkontribusi signifikan terhadap prevalensi burnout.

    Lebih jauh lagi, burnout juga bisa dipandang sebagai produk dari sistem kerja yang buruk. Ketika pekerja kehilangan kontrol atas pekerjaan mereka, menghadapi tujuan yang tidak jelas, dan merasa kurang dihargai, tekanan psikologis yang berkepanjangan mulai terbentuk. Lingkungan kerja yang keras dengan ekspektasi yang berlebihan dan dukungan yang minim dapat menciptakan kondisi yang mengarah pada kelelahan emosional. Dampak jangka panjang dari burnout meliputi penurunan kinerja kerja, munculnya masalah kesehatan yang serius seperti insomnia, hipertensi, dan depresi, serta peningkatan angka turnover karyawan dan menurunnya loyalitas terhadap organisasi. Dengan demikian, penting untuk mengadopsi pendekatan yang lebih sistemik dalam menangani burnout, yang mempertimbangkan kedua aspek individu dan lingkungan.

  • Faktor Penyebab Burnout yang Berasal dari Sistem
    Kurangnya kejelasan peran dan prioritas dalam job description karyawan dapat memiliki dampak besar terhadap munculnya burnout. Ketika karyawan tidak mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan mengalami tugas yang berubah-ubah tanpa adanya komunikasi yang jelas, hal ini menciptakan kebingungan dan frustrasi yang berpotensi mengarah pada kelelahan emosional. Masalah ini diperburuk oleh lingkungan kerja yang tidak menyediakan struktur yang memadai untuk mendukung karyawan dalam memahami dan memenuhi tanggung jawab mereka. Penelitian menunjukkan bahwa ketidakpastian dalam pekerjaan berkontribusi pada tingkat burnout yang tinggi dan menegaskan pentingnya komunikasi serta kejelasan dalam peran sebagai langkah pencegahan.

    Selanjutnya, kehilangan kontrol atas waktu dan tugas juga menjadi faktor utama penyebab burnout di tempat kerja. Kondisi di mana karyawan harus menghadapi beban kerja yang berlebihan sering dianggap hal lumrah, disertai dengan praktik lembur yang tak terelakkan dan kurangnya fleksibilitas dalam pengaturan jam kerja. Hal ini menciptakan tekanan berkelanjutan yang menyulitkan mereka untuk mengatur ritme kerja sendiri, sehingga menyebabkan ketidakpuasan dan frustasi yang mendalam. Penelitian menunjukkan bahwa ketidakmampuan untuk mengatur waktu sendiri secara signifikan meningkatkan risiko burnout.

    Budaya kerja yang toksik, terutama dalam konteks "hustle culture," juga menjadi penyebab substansial dari burnout. Dalam budaya ini, kerja keras hingga batas ekstrem 24/7 dianggap sebagai simbol dedikasi, yang menyebabkan minimnya toleransi terhadap istirahat dan kesehatan mental. Ketidakmampuan untuk beristirahat dengan baik berkontribusi pada kondisi kelelahan dan menurunkan produktivitas. Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan seperti ini tidak hanya merugikan kesehatan mental tetapi juga memperburuk suasana kerja secara keseluruhan, yang pada gilirannya memperbesar risiko burnout di kalangan karyawan.

    Kurangnya dukungan dari organisasi merupakan masalah tambahan yang memperburuk situasi burnout. Tanpa adanya saluran komunikasi dua arah yang sehat, karyawan merasa terisolasi dan tidak didengar, terutama dalam hal beban kerja dan stres. Ketidakresponsifan atasan terhadap masalah yang dihadapi bawahannya dapat mengakibatkan perasaan tidak diperhatikan dan kehilangan motivasi. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan dari atasan dan rekan kerja sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental karyawan dan dapat membantu mengurangi tingkat burnout.

  • Strategi Mengatasi Burnout Secara Sistemik
    Strategi untuk mengatasi burnout secara sistemik perlu mencakup serangkaian intervensi yang komprehensif yang menyasar berbagai aspek dari lingkungan kerja. Salah satu langkah awal yang dapat diambil adalah melakukan audit waktu dan prioritas. Tim HR dapat mengkaji kembali distribusi waktu kerja karyawan untuk memastikan bahwa fokus tetap pada pekerjaan yang menghasilkan nilai tinggi (high-impact tasks). Perubahan pada pengaturan waktu kerja harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang kebutuhan pekerjaan yang dapat membantu meminimalkan stres dan kelelahan. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang berkaitan dengan pengaturan waktu yang lebih baik dapat berdampak positif pada pengurangan risiko burnout, terutama ketika organisasi berfokus pada tugas yang memberikan hasil maksimal.

    Menetapkan batasan kerja yang sehat juga sangat penting dalam mengatasi burnout. Menerapkan prinsip "work-life boundary" yang tegas, seperti tidak membalas email di luar jam kerja dan menghargai waktu libur, dapat membantu menciptakan keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Manajemen perlu memberikan contoh perilaku kerja yang sehat, yang dapat membantu membangun norma-norma positif di dalam organisasi. Penelitian menemukan bahwa karyawan yang memiliki batasan kerja yang jelas cenderung mengalami stres yang lebih rendah dan tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi.

    Membangun budaya organisasi yang sehat juga merupakan salah satu aspek krusial dalam strategi ini. Budaya yang mengganti pandangan bahwa "kerja lebih lama = lebih baik" menjadi "kerja cerdas = lebih efektif" dapat menciptakan lingkungan yang lebih suportif bagi karyawan. Mendorong transparansi, kolaborasi, dan keamanan psikologis sangat penting dalam menciptakan suasana kerja yang lebih positif, di mana karyawan merasa aman untuk menyuarakan pendapat dan berbagi pengalaman mereka. Hal ini dirasakan signifikan dalam mengurangi tingkat burnout, karena karyawan merasa terlibat dan dihargai di dalam lingkungan kerja.

    Meningkatkan rasa kendali pekerja menjadi langkah penting dalam mengurangi stres dan meningkatkan kepuasan kerja. Melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi pekerjaan mereka dapat memberikan rasa otonomi yang berharga. Riset menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki lebih banyak kontrol atas pekerjaan mereka cenderung memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi dan lebih sedikit mengalami burnout. Dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif, penting untuk memberikan kesempatan bagi karyawan untuk terlibat aktif dalam proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang memengaruhi rutinitas kerja mereka.

 Fenomena burnout tidak hanya merupakan masalah individu, melainkan merupakan konsekuensi dari berbagai faktor sistemik dalam lingkungan kerja. Miskonsepsi tentang burnout sebagai tanda kelemahan pribadi harus diatasi, dengan penekanan pada pentingnya kejelasan peran, batasan kerja yang sehat, budaya organisasi yang mendukung, dukungan kesejahteraan, dan peningkatan rasa kontrol pekerja. Implementasi strategi-strategi tersebut dapat secara signifikan mengurangi tingkat burnout dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Dengan mengadopsi pendekatan yang sistematis dan holistik dalam lingkungan kerja, organisasi tidak hanya melindungi kesehatan mental karyawan tetapi juga meningkatkan produktivitas dan loyalitas, yang pada akhirnya berkontribusi pada keberlanjutan perusahaan.

Referensi :
Ali, A., Hamid, A., Naveed, R. T., Siddique, I., Ryu, H. B., & Han, H. (2022). Preparing for the “Black Swan”: Reducing Employee Burnout in the Hospitality Sector Through Ethical Leadership. Frontiers in Psychology, 13. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.1009785
Athamneh, S. (2024). Human Resource Management Practices and Their Impact on Healthcare Workers’ Job Satisfaction and Burnout in the Jordanian Public Sector. Problems and Perspectives in Management, 22(1), 634–648. https://doi.org/10.21511/ppm.22(1).2024.50
Bazargan-Hejazi, S., Shirazi, A., Wang, A., Shlobin, N. A., Karunungan, K., Shulman, J., Marzio, R., Ebrahim, G., Shay, W. L., & Slavin, S. (2021). Contribution of a Positive Psychology-Based Conceptual Framework in Reducing Physician Burnout and Improving Well-Being: A Systematic Review. BMC Medical Education, 21(1). https://doi.org/10.1186/s12909-021-03021-y
Bintang, A., & Rositawati, S. (2022). Studi Deskriptif Brunout Pada Guru Yang Melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh. Bandung Conference Series Psychology Science, 2(1). https://doi.org/10.29313/bcsps.v2i1.349
Bois, K. d., Sterkens, P., Lippens, L., Baert, S., & Derous, E. (2023). Beyond the Hype: (How) Are Work Regimes Associated With Job Burnout? International Journal of Environmental Research and Public Health, 20(4), 3331. https://doi.org/10.3390/ijerph20043331
Chapman, A., Bennett, P. C., & Rohlf, V. (2025). Workplace Strategies to Reduce Burnout in Veterinary Nurses and Technicians: A Delphi Study. Animals, 15(9), 1257. https://doi.org/10.3390/ani15091257
Chong, C. A., Ng, L.-P., & Chen, I. (2023). The Impact of Job Insecurity on Job Burnout Among Hospitality Employees During COVID-19 Pandemic: The Moderating Role of Supervisor and Co-Worker Support. International Hospitality Review, 38(1), 160–181. https://doi.org/10.1108/ihr-08-2022-0034
He, B., Finkelstein, C. A., Symonds, L., Uy, N., & Linden, H. M. (2024). What’s Moral Distress Got to Do With It? How to Avoid Burnout and Optimize Patient Care. International Journal of Cancer Care and Delivery, 4(1). https://doi.org/10.53876/001c.94856
Meidina, D. W., & S., N. L. (2022). Pengaruh Kesehatan Mental Karyawan Terhadap Kinerja Yang Dimediasi Oleh Kesejahteraan Di Tempat Kerja (Studi Empiris Pada Karyawan Divisi Teknologi Informasi Di Masa Work From Home). Business Management Journal, 18(1), 85. https://doi.org/10.30813/bmj.v18i1.3092
Mount, J. (2025, January 3). Burnout isn’t about working hard. Carousel | Jay Mount | 130 comments [Online forum post]. https://www.linkedin.com/posts/jaymount_burnout-isnt-about-working-hard-carousel-activity-7280934687571693568-f2ps/?utm_source=combined_share_message&utm_medium=member_desktop_web
O’Connor, M., Ferreira, N., Smith, M. J., Webster, P., Venter, G. A., & Marais, L. C. (2022). High Burnout Among the South African Orthopaedic Community: A Cross-Sectional Study. Sa Orthopaedic Journal, 61(3), 132–142. https://doi.org/10.17159/2309-8309/2022/v21n3a1
RAKASIWI, D. N., & Ratnaningsih, I. Z. (2020). Hubungan Antara Leader-Member Exchange (Lmx)dengan Burnout Pada Perawat Instalasi Rawat Inap Rs Roemani Muhammadiyah Semarang. Jurnal Empati, 8(4), 717–724. https://doi.org/10.14710/empati.2019.26515
Tomczak, M. T., & Kulikowski, K. (2023). Toward an Understanding of Occupational Burnout Among Employees With Autism – The Job Demands-Resources Theory Perspective. Current Psychology, 43(2), 1582–1594. https://doi.org/10.1007/s12144-023-04428-0

Penulis : Erna Susilowati
Editor : Ajeng Diah Hartawati M.Psi, Psikolog