Realita Tentang Burnout

Burnout adalah fenomena yang semakin banyak dialami oleh para pekerja, baik profesional muda maupun berpengalaman. Banyak yang menganggap burnout hanya sekadar kelelahan fisik atau akibat jam kerja yang panjang. Padahal, realitanya jauh lebih kompleks. Berikut adalah realita tentang burnout yang harus dipahami agar kita bisa mencegahnya dengan lebih bijak:

  1. Bukan Hanya Tentang Jam Kerja
    Banyak yang berpikir bahwa burnout hanya terjadi jika seseorang bekerja terlalu lama. Namun, burnout sering kali muncul akibat kurangnya kendali dan otonomi dalam pekerjaan. Bahkan, seseorang yang bekerja 40 jam per minggu pun bisa merasa kewalahan jika mereka kehilangan kontrol atas apa yang mereka kerjakan.
  1. Hasrat Dapat Menyebabkan Burnout
    Menyukai pekerjaan bukan jaminan terbebas dari burnout. Ironisnya, semakin besar hasrat atau passion seseorang terhadap pekerjaannya, semakin mudah ia terdorong ke batas kemampuan fisiknya. Orang yang bersemangat cenderung mendorong diri terlalu keras, sering mengabaikan kebutuhan istirahat hingga akhirnya kehabisan energi sama sekali.
  1. Istirahat Bukan Solusi Instan
    Mengambil cuti atau liburan memang membantu, tetapi burnout tidak bisa diatasi hanya dengan satu kali istirahat. Pemulihan dari burnout memerlukan penyesuaian gaya hidup dan batasan yang jelas secara berkelanjutan. kita perlu memperhatikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi setiap hari, bukan hanya ketika tubuh sudah “menyerah.”
  1. Burnout Mengikis Identitas Diri
    Burnout bukan sekadar rasa lelah biasa. Lebih dalam dari itu, burnout membuat kita mempertanyakan nilai diri, tujuan hidup, dan identitas. Rasa tidak berdaya dan kehilangan motivasi dapat membuat kita merasa seperti kehilangan arah, bukan hanya sekadar kelelahan fisik dan mental.
  1. Sulit untuk Mengatakan “Tidak”
    Semakin dalam seseorang terjebak dalam burnout, semakin sulit pula untuk menetapkan batasan. kita mungkin merasa harus selalu mengatakan “ya” demi membuktikan kemampuan dan dedikasi kita. Akibatnya, batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi kabur, yang hanya memperparah kondisi burnout.
  1. Burnout Tidak Hanya Menyerang Pikiran, Tetapi Juga Fisik
    Burnout adalah masalah yang mempengaruhi tubuh secara keseluruhan. Gejala fisik seperti insomnia, ketegangan otot, sakit kepala, dan kelelahan konstan sering kali menyertai burnout. Jika dibiarkan, dampaknya bisa semakin serius dan mempengaruhi kesehatan jangka panjang.
  1. Datangnya Tidak Terasa di Awal
    Burnout tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada awalnya, dedikasi dan kerja keras mungkin terlihat normal. Namun, perlahan-lahan, kelelahan berubah menjadi kelelahan kronis, kehilangan motivasi, dan akhirnya hilangnya semangat sepenuhnya.
  1. “Pushing Through” Hanya Membuatnya Lebih Buruk
    Banyak orang mencoba mengatasi burnout dengan mendorong diri lebih keras. Namun, berusaha “melawan” burnout dengan tekad dan kerja ekstra justru memperparah situasi. Tubuh dan pikiran membutuhkan pemulihan, bukan tekanan tambahan.
  1. Burnout Sering Tersembunyi di Balik Kesuksesan
    Salah satu aspek yang paling menipu dari burnout adalah kemampuannya bersembunyi di balik performa yang baik. Individu dengan performa tinggi sering kali menjadi korban utama burnout, karena kesuksesan mereka menutupi gejala yang sedang terjadi. Pada akhirnya, meskipun tampak produktif di luar, kondisi mental dan fisik mereka mulai runtuh di dalam.

Burnout adalah masalah serius yang tidak boleh diabaikan. Ini bukan hanya tentang kelelahan fisik atau beban kerja yang tinggi, melainkan tentang kehilangan kendali, identitas, dan batasan dalam hidup. Mengatasi burnout memerlukan pendekatan berkelanjutan, seperti membangun batasan yang sehat, mengatur waktu istirahat dengan bijak, dan mengenali tanda-tandanya sejak dini.

Referensi :
Yockey, R. (2024, November 7). Ryan Yockey on LinkedIn: 9 Burtal Burnout Truths | You dont know real burnout. https://linkedin.com/posts/ryan-yockey_9-burtal-burnout-truths-you-dont-know-activity-7260297462173638657-q9oP/?utm_source=share&utm_medium=member_desktop

Penulis : Ardhia Indah Cahyani
Editor : Ajeng Diah Hartawati, M.Psi, Psikolog